Bawakaraeng Memiliki Arti Bagi Masyarakat Sekitar

Bawakaraeng adalah suatu penamaan versi terbaru dari gunung yang disakralkan masyarakat Bugis Makassar. Bawakaraeng inilah yang kemudian diekspos secara besar-besaran oleh para antropolog, sosiolog, dan etnographer (peneliti bidang budaya, suku, dan ras) Belanda. Maksud tersembunyi dari penamaan itu agar masyarakat mengalami perubahan atau perombakan keyakinan.

Sebelumnya masyarakat Patuntung meyakini bahwa Tuhan tak bisa disosialisasikan atau dipersamakan dengan apapun dari makhluk ciptaan-Nya.
Kemudian muncul keyakinan baru atau sekte sempalan Patuntung bahwa Tuhan ternyata memiliki gambaran dengan ciptaan-Nya. Persamaan itu yakni Tuhan secara konotatif memiliki mulut pada sebuah gunung. Meskipun hanya secara simbolois. Bawakaraeng adalah symbol dari persamaan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Dari gunung itu, terdapat bagian dari Tuhan yang bias terlihat, terpegang, terinjak dan bias dipuja-puja. Bagian tersebut adalah mulut-Nya. Sekte sempalan itu berhasil dikontrol Belanda menuju suatu keyakinan keberhalaan. Penamaan Bawakaraeng adalah fundamen keberhalaan tersebut.

Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti tersendiri. : “Bawa” yang berarti (mulut) dan “Karaeng” yang berarti (Tuhan). Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.

Masyarakat meyakini jika telah melihat Mulut Tuhan, maka Tuhan bukan lagi yang Maha Ghaib dan juga Maha Tunggal. Ini proses sistematis Belanda dalam kolonialisme spiritual.
Jika keyakinan masyarakat Bugis Makassar runtuh, maka semuanya akan mudah diruntuhkan. Pelan-pelan dan terencana dengan matang, belanda menyortir semua unsur keyakinan tentang Sang Maha Tunggal dan menggantinya dengan Berhala ber-Tuhan Banyak. Jika keyakinan Patuntung diruntuhkan. Maka pada akhirnya keyakinan Islam yang masih belum lama diterima oleh penganut Spiritual Patuntung akan mudah diruntuhkan pula. Sampai sekarang sekte Sempalan Patuntung itu masih ada dan melakukan ritual mistik di Gunung Bawakaraeng. Meskipun unsure ritual itu sudah diadoni dengan bumbu-bumbu ke-Islam-an, tapi karena fundamennya berasal dari keberhalaan bentukan Belanda. Maka ritual itu merupakan suatu Syirik besar, karena mempersekutukan Allah SWT.
Hanya Patuntung versi Kajang yang tidak terpengaruh oleh kolonialisme spiritual ala Bawakaraeng. Nama “Bawakaraeng” tak diakui dalam “Pasang ri Kajang” Belanda sama sekali tidak pernah menjajah atau menduduki Kajang. Tiga kerajaan besar seperti Luwu, Bone dan Gowa, bahkan secara resmi member perlindungan khusus kepada Kajang. Tiga kerajaan itu juga tidak pernah mengekspansi Kajang. Bohe amma Towa, malah menjadi penasehat spiritual di tiga kerajaan, saat terjadi perang antara Gowa dan Bone, Kajang terhindar dari pertikaian berdarah tersebut.
Gowa menganugerahi penguasa territorial Kajang dengan sebutan karaeng (orang yang dimuliakan), tapi istilah “Karaeng” hanya dipakai selama masa jabatan penguasa territorial tersebut, bila masa jabatan berakhir, berakhir pula sebuatan kekaraengan. Jadi di Kajang, tak berlaku istilah Karaeng, sebagaimana lazimnya dalam masyarakat Makassar. Meskipun dari segi wilayah dan suku, kajang masi termasuk suku Makassar, bagi mereka istilah Karaeng tak berarti apapun, kecuali hanya sebagai penghargaan kepada pemerintah. Jadi Karaeng tak pernah bias diartikan sebagai Tuhan atau sesuatu yang di per-Tuhan-kan.
Menurut BapakAbdul Kahar Muslim (Deklarator/pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Tokoh Adat Kajang), nama sejati dari Gunung Bawakaraeng tersebut adalah Boho Karaeng. Rincian maknanya adalah “Boho” berarti (Puncak) dan “karaeng” berarti (Kemuliaan). Meskipun namanya adalah “puncak kemuliaan” bukan berarti jika seseorang telah mendaki hingga tringulasi, bererti telah mencapai puncak kemuliaan. Istilah itu didasarkan pada spiritualitas Patuntung yang bersifat Ekologis Sentris. Sifat ini berdasarkan pada satu epicenter Teori yakni manusia, lingkungan, hewan, dan tumbuhan berada dalam satu makrokosmos dan mikrokosmos yang tak terpisahkan.
Mendaki menuju “puncak kemuliaan” berarti siapapun yang berada di Gunung Bawakaraeng tersebut harus berbuat kemuliaan dalam segala niat dan pengalaman. Pendaki tidak boleh melakukan perbuatan terlarang secara etika dan moral. Menurut beliau “Jika kamu sudah mendaki berkali-kali pada BohoKaraeng. Maka belajarlah, latihlah, dan didiklah dirimu selalu dalam kearifan dan kebijakan. Karena itulah makana inti dari kemuliaan pada puncak gunung tersebut.
Gunung Bawakaraeng berjarak kurang lebih 75 km dari kota Makassar.Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai. Bawakaraeng terdiri dari bukit – bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.
Sumber : Bawakaraeng memiliki arti bagi masyarakat sekitar

No Response to "Bawakaraeng Memiliki Arti Bagi Masyarakat Sekitar"

Posting Komentar